rss

rtrtr

Daftar Isi /search?max-results=200">Daftar Isi

About Me

My photo
Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu

Wednesday 9 December 2009

Setu Babakan – Perkampungan Budaya Betawi


Maret 27, 2007

Betawi Traditional House
Ada yang pernah tau Setu Babakan? Disana terletak sebuah perkampungan budaya Betawi dimana seluruh bangunan dan jajanannya bergaya Betawi
Perkampungan ini terletak di samping sebuat danau yang cukup besar di daerah srengseng sawah lenteng agung. Perjalanan ketempat ini memang cukup jauh jika anda belum terbiasa dan juga melelahkan. Namun semua itu bisa terobati dengan sejuknya duduk di bawah pepohonan yang cukup rindang sambil menikmati jajan betawi seperti sotomie, kerak telor, roti buaya bahkan soto betawi pun di jajakan disini. Cukup banyak keluarga yang menghabiskan siang dan sorenya ditempat ini

Monday 7 December 2009

Ultah Betawi

HARI ULANG TAHUN JAKARTA MENGAPA 22 JUNI ?
Oleh Monalohanda Arsip Nasional RI



Ya, mengapa tanggal 22 Juni?

Jawabannya perlu dicari dalam dua hal, yaitu: penggagas ide dan penetapan tanggal 22 Juni itu. Penggagas ide adalah Sudiro yang sejak 8 Desember 1953 menjadi Walikota Jakarta Raya. Kemudian pada tahun 1958 jabatan Sudiro adalah Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kotapraja Jakarta raya. Sudiro memegang jabatan ini sampai tahun 1960.


Sebagai petinggi yang mengurus ibukota negara Republik Indonesia Sudiro berkeinginan agar warga Jakarta dapat merayakan ulang tahun kota-nya dengan meriah setiap tahun. Paling tidak ada perayaan yang dinikmati bersama oleh semua orang yang menjadi penduduk Jakarta. Pada awal tahun 1954 ia menghubungi beberapa orang ahli sejarah, di antaranya: Mr. Muh. Yamin, Sudarjo Tjokrosisworo (wartawan senior) dan Mr. Dr. Sukanto. Kepada mereka diminta kesediaan untuk meneliti kapan kota Jakarta didirikan. Permintaan ini jelas mengacu kepada kota Jakarta dan bukan Batavia yang didirikan oleh Jan Pieterszoon Coen.



Dar

Pitung

Si Pitung Perampok atau Pemberontak?
Oleh Ridwan Saidi


Si Pitung selama delapan tahun (1886 – 1894) telah meresahkan Batavia. Penasehat pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera Snouck Hurgronje mengecam habis-habisan kepala polisi Batavia Schout Hijne yang tak mampu menangkap Pitung. Hurgronje menganggap amat keterlaluan kalau seorang Eropa seperti Hijne sampai harus berdukun untuk dapat menangkap Pitung. Hurgronje menganggap kepala polisi ini sangat tidak terpelajar yang tak mampu memperhitungkan kehadiran alat transportasi baru, kereta api, yang dengannya Pitung dapat hilir mudik. Lebih menggusarkan lagi Pitung dapat meloloskan diri dari penjara Meester Cornelis ketika tertangkap pada tahun 1891. Tidak hanya itu, di luar penjara Pitung masih sempat membunuh Demang Kebayoran, yang menjadi musuh petani-petani Kebayoran dan telah pula menjebloskan saudara misan Pitung, Ji’ih, ke penjara dan kemudian dihukum mati.

Margriet van Teel dalam laporan penelitiannya tahun 1984 sebagaimana disiarkan Bijdragen tahun penerbitan semasa mengungkapkan bahwa polisi Belanda pernah menggerebek rumah si Pitung di Rawa Belong, Jakarta Barat, dan ternyata di rumah itu yang ditemukan hanyalah beberapa keping uang benggolan senilai 2,5 sen yang tersimpan di bambu. Padahal selama delapan tahun Pitung melakukan aksi perampokan dengan sasaran saudagar yang dinilainya bersekutu dengan Belanda telah mengeruk uang dan emas permata yang tidak sedikit nilai dan jumlahnya.

Dalam menjalankan aksi perampokannya, Pitung tidak membangun komplotan melainkan berdua denga sepupunya Ji’ih yang kemudian dihukum mati. Setelah itu Pitung bekerja sendiri. Karena itulah sulit polisi mendapatkan informasi tentang Pitung.

Apa yang dikenal sebagai rumah si Pitung yang berlokasi di Marunda, Jakarta Utara, sesungguhnya rumah Haji Safiudin seorang bandar perdagangan ikan. Ada dua versi tentang perampokan di rumah Haji Safiudin. Versi pertama mengatakan Pitung benar-benar telah merampok Haji Safiudin. Versi kedua meragukan kalau Haji Safiudin sempat dirampok. Diperkirakan terjadi kesepakatan antara Safiudin dengan Pitung. Safiudin menyerahkan sejumlah uang. Penulis meyakini versi kedua dengan penjelasan di bawah nanti.

Mengangon kambing

Ibu kandung Pitung berasal dari Rawa Belong, Jakarta Barat, ayahnya berasal dari kampung Cikoneng, Tangerang. Diperkirakan Pitung lahir pada tahun 1866 di Tangerang. Sekitar usia delapan tahun Pitung merasakan kehidupan yang pahit. Kedua orang tuanya bercerai. Ibunya menolak dijadikan isteri tua. Pitung bersama ibunya kembali ke kampung Rawa Belong, sedangkan ayahnya menetap di Cikoneng, Tangerang, bersama istri mudanya dan tetap bekerja pada tuan Tanah Cikoneng. Kemudian hari ketika Pitung sudah menjadi buronan ia kerap berkunjung ke rumah Tuan Tanah Cikoneng.

Di Rawa Belong Pitung mengangon kambing milik kakeknya. Setelah berusia 14 tahun, Pitung dipercaya menjual kambing di pasar Kebayoran. Pada suatu hari saat kembali dari pasar menjual kambing, Pitung dirampok. Ia tak berani pulang takut dimarahi kakek dan ibunya. Pitung mengembara dengan dendam yang amat sangat terhadap kekerasan.

Dalam pengembaraannya itu sampailah ia di kampung Kemayoran, dan berkenalan dengan Guru Na’ipin. Seorang ahli tarekat yang pandai bermain silat. Guru Na’ipin adalah murid Guru Cit seorang mursyid, guru tarekat, dari kampung Pecenongan, Jakarta Pusat. Sekitar enam tahun Pitung berguru pada Na’ipin.

Na’ipin bersahabat dengan Mohammad Bakir, pengarang Betawi akhir abad XIX. Karya Mohammad Bakir tersimpan di sejumlah meseum terkemuka di dunia antara lain Petersburg, Rusia, London, dan negeri Belanda. Dari titik inilah Na’ipin membangun hubungan dengan jaringan Jembatan Lima, Jakarta Barat, yang ketika itu sudah dipimpin Bang Sa’irin. Di kampung inilah segala gagasan pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda di sepanjang abad XIX dan permulaan abad XX dirancang. Jaringan Jembatan Lima sebelumnya dipimpin Cing Sa’dullah, juga seorang pengarang Betawi.

Pitung tidak pernah menikmati hasil rampokannya. Ia tak pernah beristeri, karena buronan yang tidak menetap di suatu tempat. Ia juga bukan penjudi, atau pun pemabuk. Ia seorang penganut tarekat. Menurut Margriet van Teel, Pitung dapat menulis dalam aksara Melayu Arab. Margriet van Teel melaporkan bahwa tatkala di penjara Meester Cornelis, Jatinegara, Pitung sempat beberapa kali menyelundupkan surat yanag ditujukan pada pengurus mesjid Al Atiq kampung Melayu. Dalam surat itu Pitung menggunakan nama samaran Solihun, orang yang saleh.

Di kalangan tarekat tatkala itu berkembang keyakinan bahwa merampas harta musuh untuk kepentingan perjuangan adalah halal belaka. Ini disebut fa’ie. Pitung menjalankan tugas ini setelah tokoh-tokoh pemberontakan petani di Jakatrta dan sekitarnya kesulitan dana karena penyandang dana selama itu, pelukis Raden Saleh, telah disita kekayaannya pada tahun 1870 karena terlibat pemberontakan petani. Dan pada tahun 1880 Raden Saleh meninggal dunia di Bogor dalam keadaan miskin.

Seluruh hasil rampokan Pitung diserahkan untuk kepentingan perjuangan. Bukan dibagi-bagikan langsung kepada rakyat kecil sebagaimana selama ini didongengkan. Karena itulah Pitung amat sulit ditangkap karena jaringannya amat luas. Bahkan salah seorang calon korbannya, Haji Safiudin kampung Marunda, akhirnya menjadi mitranya. Pitung seringkali berkunjung ke rumah Haji Safiudin di Marunda yang kemudian terkenal sebagai rumah si Pitung.

Karena seringnya Pitung berkunjung ke Marunda, akhirnya tercium mata-mata Belanda. Route Pitung dilacak. Pitung selalunya muncul dari Pondok Kopi, Jakarta Timur, jika hendak ke Marunda. Pada suatu petang Schout Hijne dengan kekuatan satu regu pasukan polisi bersenjata lengkap menanti Pitung di Pondok Kopi. Tak ayal lagi begitu hari mulai gelap Pitung muncul. Ia dihujani peluru. Pitung rebah, tapi tak langsung tewas. Ia dibawa dengan mobil ambulans yang sudah disiapkan ke rumah sakit militer, kini RSPAD, di Jl Raya Senen, Jakarta Pusat.

Menurut laporan Margriet van Teel, sepanjang perjalanan Pitung terus menerus menyanyikan lagu Nina Bobo, sehingga ditegur Schout Hijne apa kiranya permintaan Pitung terakhir karena tampaknya ajal hendak menjemput. Pitung mengatakan ia minta dibelikan tuak, air nira, dengan es. Permintaannya dikabulkan. Segelas air nira sejuk diminumnya, belumlah kering gelas itu Pitung berpulang. Pitung mati muda dalam usia duapuluh delapan tahun. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Sumber : http://www.kampungbetawi.com

Menteng Sebuah Sub Kultur

Menteng Sebuah Sub Kultur
Oleh Ridwan Saidi

Mentengbuurt dibangun tahun 1920 oleh developer N.V. Kondang Dia, kemudian hari dipakai menjadi nama kampung Gondangdia. Bangunan mewah didirikan dengan batas selatan Dukuh Sawah (kini Jl. Kendal), sebelah barat Kampung Lima (kini Jl. Sabang), sebelah timur kampung Kali Pasir, Raden Saleh, dan Gang Ampiun, dan sebelah utara tanah lapang Gambir. Fasilitas umum dan sosial dibangun untuk melayani kepentingan penduduk, dua stasiun KA didirikan dengan jarak berdekatan yaitu Pegangsaan/Cikini dan Boplo (Boumploeg), di samping stasoin sentral Gambir yang sudah berdiri sebelumnya. Fasilitas olahraganya adalah lapangan bola Vios dan kolam renang Cikini.

Tiga gedung bioskop melayani keperluan penduduk akan hiburan, dua buah di kompleks Kebon Binatang Cikini yaitu Garden Hall dan Podium. Podium memutar film-film lama dengan teks bahasa Belanda. Pada beranda gedung bioskop terdapat bar yang dilengkapi dengan musik kamar (chombers orchestra). Bioskop yang ketiga adalah Menteng yang lokasinya bersebelahan dengan lapangan Vios. Sedangkan kompleks pertokoan ekskutif berdiri di sepanjang Jl. Sabang, Cikini, dan sekitar bioskop Menteng.

Penghuni Mentengbuurt adalah orang Belanda, baik swasta maupun pegawai tinggi Gemeente. Mereka adalah elit Batavia awal abad ke-20. Kendati di lingkungan Belanda sendiri mereka tergolong amat eksklusif. Rumah-rumah dansa paling elit seperti Societet Harmonie dan Hotel Des Indes diramaikan oleh orang-orang Menteng. Menteng menandai perubahan jaman di Hindia Belanda pasca PD I. Memiliki landhuizen (villa) yang merupakan ciri elit kolonial abad 18-19 sudah menjadi album kenangan. Eropa yang berubah pasca perang, cipratannya sampai juga di Batavia.

Belanda Totok, Belanda Kemayoran, Belanda Depok

Belanda totok adalah bule sejati, darahnya tidak bercampur dengan lain-lain orang. Belanda Kemayoran adalah Belanda pembauran. Mereka memiliki darah inlander. Hal ini berpengaruh pada gaya hidup dan pola pergaulan mereka. Gaya hidupnya tidak eksklusif, dan mereka pun bergaul secara luas baik dengan inlander maupun keturunan Tionghoa.

Zegt, Pe’, gua lagi boke, linen ik ce toen lah. Pastilah gaya bicara serupa ini tidak akan beredar di Mentengbuurt. Gaya Belanda Kemayoran ini kampungan belaka dimata orang Menteng. Dan sebutan Belanda Kemayoran ini sinonim dengan Indo, meski pun Indo tinggal di Sao Besar atau Petojo, tetap saja disebut Belanda Kemayoran. Dari analisa kelas, maka Belanda Totok di Menteng itu berbeda statusnya dengan Belanda Kemayoran. Begitu pun pola konsumsinya.

Belanda Depok adalah bukan Belanda. Mereka adalah pekerja onderneming Belanda di Cimanggis yang direkrut pada abad ke-18. Mereka yang dulu disebut budak ini didatangkan pemilik onderneming dari India Selatan dan kepulauan Sunda Kecil. Mereka menguasai sepotong dua potong perkataan Belanda. Sedikit atau banyak gaya hidup. Belanda petinggi onderneming menular pada diri mereka. Misalnya, Belanda Depok itu pantang bepergian ke luar rumah dengan sandalan saja. Penampilan Belanda Depok selalu rapi. Penampilan Belanda Depok berbeda memang dengan penduduk asli yang telah mendiami kawasan ini paling sedikit sejak 5000 SM.

Milik RI

Ketika Jepang datang tahun 1942, banyak Belanda totok di Menteng yang digiring ke kamp interniran. Rumah-rumah di Menteng sebagian kosong, sebagian dihuni pembesar Jepang. Namun Menteng tetap Menteng, aura gaya hidup eksklusif tidak ikut masuk ke kamp interniran. Meski sebagian besar bioskop di Jakarta ditutup pemerintah militer Jepang, namun 3 bioskop di Menteng tetap dibuka, begitu pun bar di bioskop Podium. Pembesar Jepang yang menjadi “bujangan lokal” itu suka mabuk-mabukan dan “doyan perempuan”.

Di jaman revolusi, Menteng terlibat. Rapat-rapat persiapan kemerdekaan dilangsungkan di Jl. Imam Bonjol, dan kemerdekaan sendiri dicetuskan di Jl. Pegangsaan yang terbilang Mentengbuurt. Pada jaman ini gaya hidup extravaganza terhenti.

Ketika revolusi fisik berakhir dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda, maka rumah-rumah di Menteng berganti pemilik lewat suatu proses yang revolusioner. Banyak rumah pemerintahan dan pentolan revolusi masuk Menteng. Di jaman ini kantor Urusan Perumahan Djakarta (UPD) bukan main sibuknya mengeluarkan VB (izin menempati), atau mengubah VB menjadi dokumen kepemilikan. Tidak sedikit pula VB yang berpindah tangan. Hingga akhirnya di tahun 1950 muncul peta demografi Menteng yang baru. Di Menteng ada mantan Belanda totok yang sudah menjadi Indo, ada elit rupa-rupa suku bangsa, dan ada pula kaum keturunan baik profesional mau pun politisi yang sukses.

Dasar Menteng, tetap saja gaya hidupnya tidak berubah. Peta demografi yang baru hasil revolusi itu tetap mempertahankan Menteng sebagai sebuah sub kultur yang elitis dengan menghamburkan aroma snobisme.

Tidak banyak lagu yang menggambarkan gaya hidup Menteng. Lagu Kisah Malam di Jalan Lembang karya Saleh Suwita bercerita tentang kawasan Jalan Lembang, yang mempunyai situ, dimana muda-mudi non Menteng kalau malam berasyik ma’syuk. Sebuah lagu pop yang muncul tahun 1958 berjudul Babu Menteng bercerita tentang babu-babu yang mengalami gegar budaya (cultural schok) lantas meniru attitude majikannya. Tendensi babu Menteng tahun 1950-an s/d 1960-an itu sekarang pun dapat dijumpai di Pondok Indah, Kemang, Pluit.

Barangkali film awal tahun 1950-an Antara Bumi Dan Langit rada sempurna menggambarkan kesenjangan budaya dan politik antara Mentengbuurt dan kawasan di luarnya. Seorang pemuda pejuang non Menteng menjalin asmara dengan pemudi Indo Menteng, keruan romantisme ini berujung pada jalan buntu. Film Juara Sepatu Roda yang dibintangi Indriati Iskak serta Tiga Dara dengan bintang Baby Huwae, Lientje Tambayong, dan Gaby Mambo produksi sekitar tahun 1960 menjadi potret snobisme Menteng. Bahkan sepatu roda itu sendiri, di luar film, merupakan symbol perubahan status sosial.

Menteng merupakan jendela untuk melongok Westernisme. Anak-anak menteng lebih dulu memakai blue jeans, jaket merah, dan jambul doyong ke kanan ketika film Rebel Without Cause-nya James Dean mencapai box office di sejumlah bioskop ibukota tahun 1957. Ketika datang Elvis Presley mengguncang muda-mudi mancanegara, Menteng pun menjadi pelopor gaya Raja Rock & Roll itu.

Rumah-rumah di Menteng sampai dengan bulan Oktober 1965 masih diwarnai dengan pesta dansa entah itu urusan jaarig, atau gengsot rutin belaka. Sehari-hari pun gramophone dari rumah-rumah di Menteng menghamburkan lagu-lagu Perry Como, Pattie Page, atau instrumental Glenn Miller ditingkah alunan irama Lautan Teduh Orkes Hawaiian Suara Istana pimpinan Tjok de Fretes. Dan kap salon masuk rumah pun di awali dari Menteng.

Di jaman Orde Lama Menteng tidak kehilangan charisma, karena banyak artis dan pagar ayu bhineka tunggal ika yang menyemarakkan kehadiran Pembesar Revolusi Bung Karno bertempat tinggal di Menteng. Bahkan putra-putri pembesar Orde Lama juga mendirikan band yang memainkan, meminjam istilah Bung Karno, lagu-lagu ngak-ngik-ngok.

Teror PKI

Tetapi Menteng bukan cuma snobisme, namun juga sentra pemikiran kaum intelektual. Balai Budaya sejak tahun 1958 tersohor sebagai tempat berkumpulnya pelukis kondang, budayawan, dan intelektual. Majalah Indonesia yang terbit dari gedung ini merupakan trend intelektual ketika itu. Menteng juga punya restoran Geliga tempat para seniman film dan musik berkumpul berbual-bual.

Menteng juga merupakan pemukiman politikus berkaliber seperti Sutan Syahrir, Mohamma Roem, Mohammad Natsir, Ruslan Abulgani, Prawoto Mangkusasmito, Subchan ZE. Maka tidak heran ketika PKI merajalela, jalan-jalan di Menteng sering mencekam karena PKI melancarkan terror ke rumah-rumah tokoh Masyumi dan PSI yang tinggal di Menteng. Bahkan Menteng sempat berdarah ketika Gestapu/PKI tahun 1965 membunuh Jendral Ahmad Yani, Pierre Tendean, pengawal A.H. Nasution, dan Ade Irma Nasution. Dan Menteng pun menjadi markas organisasi-organisasi mahasiswa penggerak Orde Baru seperti HMI, PMKRI, dan IMADA.

Sandhyakala Ning Mentheng

Tahun 1970 Menteng memasuki senja kala, meski sejak saat itu Jalan Surabaya menjadi sangat terkenal karena menjadi pasar barang-barang antik. Namun dibukanya pemukiman mewah yang baru seperti Simprug, Kemang, Permata Hijau, dan Pondok Indah membuat kharisma Menteng sebagai sentra sub kultur elitis memudar. Apalagi di pemukiman baru itu banyak warga asing bertempat tinggal, maka daerah-daerah itu berubah menjadi sepotong Paris di Jakarta.

Kini yang eye-catcher di Menteng adalah rumah mantan Presiden Suharto di Jalan Cendana, panti pijat Jalan Blora (sampai medio 1970-an), dan sop kambing Jalan Kendal (sampai tahun 1980-an). Sementara itu bangunan lama di Menteng yang merupakan peninggalan arsitektur Indisch, meski pun dilindungi ordonansi, satu persatu dirubah bentuk. Termasuk bangunan yang menjadi kantor imigrasi sempat digasak kusen-kusen dan daun pintunya oleh putera Suharto.

Menteng kini merupakan salah satu sentra kegiatan politik yang paling penting, pendemo hilir mudik di kawasan Menteng entah itu ke Komnas HAM atau ke rumah Suharto, atau kumpul di LBH. Politikus juga hilir mudik di Menteng entah untuk rapat penting PPP, atau silaturahmi ke kantor (sementara) P.B. NU (sampai Agustus 2001), atau menghadiri diskusi KAHMI, atau beraudiensi ke kediaman Wapres.

Sebagai idiom dalam pergaulan sosial, Menteng tak lagi disebut orang. Beriringan dengan itu kampung-kampung enclave Menteng seperti Menteng Pulo, Menteng Wadas dan Menteng Rawa Jelawe telah sirna diterkam developer. Daag, Menteng!!!

Sumber http://www.kampungbetawi.com

Siapa Orang Betawi


Betawi, salah satu etnis di Indonesia yang dipercaya sebagai etnis penduduk asli kota Jakarta. Agak unik membicarakan etnis Betawi, secara geografis terletak di pulau Jawa, namun secara sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam. Etnis Betawi juga agak sulit untuk dilacak asal muasalnya karena minimnya literatur dan peninggalan bersejarah yang ada. Beda dengan etnis-etnis lain di Indonesia yang dapat dengan mudah dilacak sejarah perkembangan budaya mereka.

Apa yang disebut dengan etnis atau orang Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis lain yang sudah hidup lebih dulu di Jakarta adalah orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon dan Melayu. Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab MA menaksir etnis Betawi baru terbentuk sekitar tahun 1815-1893.

Perkiraan itu didasarkan atas studi sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus. Dalam sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan etnis ini juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan satuan sosial politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Muhammad Husni Thamrin mendirikan “Perkoempoelan Kaoem Betawi”. Saat itulah segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Pada tahun 1930 kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada, muncul sebagai kategori etnis dalam data sensus.

Namun bukan sejarah namanya kalau tanpa polemik. Ridwan Saidi, sejarawan, budayawan dan sekaligus politikus Betawi mencoba meluruskan semua teori tersebut. Ia berpendapat Betawi bukanlah etnis “kemarin sore”. Orang-orang Betawi telah ada jauh sebelum J.P Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan mendirikan Batavia di atasnya. Ridwan menunjuk bukti keberadaan orang Betawi tersebut secara geografis, arkeologis dan sejarah perkembangan bahasa dan budaya. Lebih lengkap perihal teori Ridwan Saidi dapat dilihat dalam beberapa bukunya diantaranya berjudul ; Profil Orang Betawi (1997), Warisan Budaya Betawi (2000), dan Babad Tanah Betawi (2002).

Keberadaan etnis Betawi memasuki fase baru sejak kemerdekaan 1945 hingga detik ini. Kota Jakarta sejak kemerdekaan dibanjiri imigran dari berbagai etnis di Indonesia dalam jumlah sangat besar. Akibatnya orang-orang Betawi mau tidak mau berasimilasi dengan para imigran tersebut. Hal ini menyebabkan entitas asli Betawi semakin pudar. Ditambah lagi dengan karakter orang Betawi yang sangat egaliter dalam menerima setiap kebudayaan yang datang.

Perihal ini saya pernah bertanya kepada budayawan sekaligus penyair Bapak Sapardi Joko Damono beberapa tahun silam. Menurutnya orang Betawi telah mengalami sebuah fase perubahan yang pesat akibat proses asimilasi. Namun perubahan tersebut tidak membuat orang Betawi ataupun etnis Betawi menjadi punah, melainkan bermetamorfosis menjadi etnis atau orang Betawi baru. Betawi yang terbentuk akibat proses asimilasi dengan budaya lain di Kota Jakarta. Dan ini menurut saya merupakan fase kedua terbentuknya etnis Betawi akibat perpaduan berbagai etnis yang ada. Hanya saja dalam fase ini perubahan dalam hal budaya dan kesenian tidak terlalu banyak pengaruh. Hanya dalam hal pembentukan entitas orang Betawi yang banyak berpengaruh.

Setelah beberapa tahun berlalu saya pun mulai bertanya kembali, orang Betawi seperti apa yang dimaksudkan oleh mantan Dekan Fakultas Sastra UI itu? Apakah seorang Joko, anak yang mempunyai kedua orang tua beretnis Jawa, tetapi ia lahir dan besar di Jakarta bisa disebut orang Betawi? Gaya bicara Joko sudah sangat kental dengan logat Betawi, bahkan ia pun tidak bisa berbahasa Jawa dan tidak pernah lagi mengenal kampung halamannya di Jawa. Atau seorang Henrizal, anak yang lahir di Jakarta dan kini menetap di Bandung dari Bapak beretnis Padang dan Ibu dari Batak layak disebut orang Betawi?

Ataukah seorang Abas yang lahir dari kedua orang tua yang beretnis Betawi, tetapi dalam kesehariannya ia jarang menggunakan bahasa Betawi akibat lingkungan akademik dan tempat kerjanya layak disebut orang Betawi? Ia juga tidak pernah menampakkan atau bangga disebut sebagai orang Betawi dalam kehidupannya. Atau setiap orang yang mengaku beretnis Betawi adalah orang Betawi? Ataukah pendapat lain yang meyatakan orang Betawi adalah mereka yang telah hidup minimal 3 generasi di Jakarta. Sampai sekarang tidak ada kejelasan dalam hal tersebut.

Orang Betawi memang jarang menganggap penting asal muasal keturunannya yang masih jadi polemik. Bagi orang Betawi yang lebih penting adalah memikirkan masalah kematian dan bagaimana mengisi kehidupan sebelum mereka meninggal. Hal ini berdasarkan keyakinan mereka yang kuat terhadap agama Islam sebagai nafas budaya mereka. Itulah oang Betawi yang sangat toleran terhadap berbagai etnis lain. Bagi orang Betawi kualitas manusia itu tidak ditentukan oleh keturunan siapa, melainkan isi kepala dan perilakunya.

Begitulah orang Betawi, walaupun secara geografis, mayoritas wilayahnya sudah diambil orang lain alias tergusur, namun orang Betawi masih tetap eksis. Karena orang Betawi yakin mereka tidak pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, sebagai kampung halaman mereka. Selama Jakarta masih ada, selama itu pula akan muncul ornag-orang Betawi baru. Nah pertanyaanya sekarang, merasa orang Betawi-kah anda?

Sumber http://myandy.multiply.com/journal/item/133/Siapa_Orang_Betawi

Wednesday 2 December 2009

Hari-hari akhir si Pitung

oleh alwishahab. Betawi Oktober 1893. Rakyat Betawi di kampung-kampung tengah berkabung. Dari mulut ke mulut mereka mendengar si Pitung atau Bang Pitung meninggal dunia, setelah tertembak dalam pertarungan tidak seimbang dengan kompeni. Bagi warga Betawi, kematian si Pitung merupakan duka mendalam. Karena ia membela rakyat kecil yang mengalami penindasan pada masa penjajahan Belanda. Sebaliknya, bagi kompeni sebutan untuk pemerintah kolonial Belanda pada masa itu, dia dilukiskan sebagai penjahat, pengacau, perampok, dan entah apa lagi.

Jagoan kelahiran Rawa Belong, Jakarta Barat, ini telah membuat repot pemerintah kolonial di Batavia, termasuk gubernur jenderal. Karena Bang Pitung merupakan potensi ancaman keamanan dan ketertiban hingga berbagai macam strategi dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati. Pokoknya Pitung ditetapkan sebagai orang yang kudu dicari dengan status penjahat kelas wahid di Betawi.

Bagaimana Belanda tidak gelisah, dalam melakukan aksinya membela rakyat kecil Bang Pitung berdiri di barisan depan. Kala itu Belanda memberlakukan kerja paksa terhadap pribumi termasuk ‘turun tikus’. Dalam gerakan ini rakyat dikerahkan membasmi tikus di sawah-sawah disamping belasan kerja paksa lainnya. Belum lagi blasting (pajak) yang sangat memberatkan petani oleh para tuan tanah.

Si Pitung, yang sudah bertahun-tahun menjadi incaran Belanda, berdasarkan cerita rakyat, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena ada yang mengkhianati dengan memberi tahu tempat persembunyiannya. Ia ditembak dengan peluru emas oleh schout (setara Kapolres) van Hinne karena dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung, sampai tempat ia dimakamkan dirahasiakan. Takut jago silat yang menjadi idola rakyat kecil ini akan menjadi pujaan.

Si Pitung, berdasarkan cerita rakyat (folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil belajar mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca (tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli maen pukulan.

Suatu ketika di usia remaja –sekitar 16-17 tahun, oleh ayahnya Pitung disuruh menjual kambing ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari kediamannya di Rawa Belong dia membawa lima ekor kambing naik gerobak. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, Pitung dibegal oleh beberapa penjahat pasar. Mulai saat itu, dia tidak berani pulang ke rumah. Dia tidur di langgar dan kadang-kadang di kediaman gurunya H Naipan. Ini sesuai dengan tekadnya tidak akan pulang sebelum berhasil menemukan hasil jualan kambing. Dia merasa bersalah kepada orangtuanya. Dengan tekadnya itu, dia makin memperdalam ilmu maen pukulan dan ilmu tarekat. Ilmu pukulannya bernama aliran syahbandar. Kemudian Pitung melakukan meditasi alias tapa dengan tahapan berpuasa 40 hari. Kemudian melakukan ngumbara atau perjalanan guna menguji ilmunya. Ngumbara dilakukan ke tempat-tempat yang ‘menyeramkan’ yang pasti akan berhadapan dengan begal.

Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari Bang Pitung disebut Rawa Rontek. Gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Bang Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak melihat keberadaan Bang Pitung. Karena itu dia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian rawa rontek-nya itu, Bang Pitung tidak boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.

Si Pitung yang mendapat sebutan ‘Robinhood’ Betawi, sekalipun tidak sama dengan ‘Robinhood’ si jago panah dari hutan Sherwood, Inggris. Akan tetapi, setidaknya keduanya memiliki sifat yang sama: Selalu ingin membantu rakyat tertindas. Meskipun dari hasil rampokan terhadap kompeni dan para tuan tanah yang menindas rakyat kecil.

Sejauh ini, tokoh legendaris si Pitung dilukiskan sebagai pahlawan yang gagah. Pemuda bertubuh kuat dan keren, sehingga menimbulkan rasa sungkan setiap orang yang berhadapan dengannya. Dalam film Si Pitung yang diperankan oleh Dicky Zulkarnaen, ia juga dilukiskan sebagai pemuda yang gagah dan bertubuh kekar. Tapi, menurut Tanu Trh dalam ‘Intisari’ melukiskan berdasarkan penuturan ibunya dari cerita kakeknya, Pitung tidak sebesar dan segagah itu. ”Perawakannya kecil. Tampang si Pitung sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya kehitam-hitaman, dengan ciri yang khas sepasang cambang panjang tipis, dengan ujung melingkar ke depan.”

Menurut Tanu Trh, ketika berkunjung ke rumah kakeknya berdasarkan penuturan ibunya, Pitung pernah digerebek oleh schout van Hinne. Setelah seluruh isi rumah diperiksa ternyata petinggi polisi Belanda ini tidak menemukan si Pitung. Setelah van Hinne pergi, barulah si Pitung secara tiba-tiba muncul setelah bersembunyi di dapur. Karena belasan kali berhasil meloloskan diri dari incaran Belanda, tidak heran kalau si Pitung diyakini banyak orang memiliki ilmu menghilang. ”Yang pasti,” kata ibu, seperti dituturkan Tanu Trh, ”dengan tubuhnya yang kecil Pitung sangat pandai menyembunyikan diri dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang-orang lain.” Sedang kalau ia dapat membuat dirinya tidak tampak di mata orang, ada yang meyakini karena ia memiliki kesaksian ‘ilmu rontek’.

Sumber : http://bangjabrix.wordpress.com/2008/11/28/hari-hari-akhir-si-pitung/#more-63

Condet

Condet Cagar Sejarah Betawi
Oleh Alwi Shahab

Condet, yang ditetapkan gubernur Ali Sadikin sebagai cagar budaya Betawi sejak 1976, boleh dikata gagal total. Warga Betawi yang dulu mayoritas di kawasan Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur ini, sudah banyak yang hengkang atau makin terdesak ke pedalaman. Sementara kebun dan pepohonan rindang yang dulunya boleh dikata tidak tertembus sinar matahari saking rimbunnya, kini berganti menjadi rumah-rumah dan gedung bertingkat.

Gagal menjadikan Condet sebagai cagar budaya, kini datang usulan baru. Pemprov DKI Jakarta diminta menjadikan Condet sebagai cagar sejarah Betawi. Usulan ini terlontar dalam seminar 'Pengembangan Pelestarian Budaya Betawi', 6 Oktober 2001, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menjadikan Condet sebagai cagar sejarah, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, punya dasar yang kuat.

Ia mengemukakan temuan arkeologis pada situs Condet mengindidikasi hunian purba, sedikitnya pada periode 3000 tahun SM. Toponim di Condet (Ciondet) seperti Batualam, Batu Ampar, Bale Kambang, Pangeran, Dermaga, mencerminkan kehidupan masyarakat dan kebudayaan masa lampau. Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta, pada penelitian arkeologis pada tahun 1970-an telah menemukan benda-benda prasejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu.

Benda-benda itu banyak terdapat di tepian sungai Ciliwung, di daerah Condet dan Kalibata Pejaten, Jakarta Selatan. Benda-benda ini diduga berasal kira-kira 1000 - 1500 SM. "Pada masa itu, di Condet dan beberapa tempat di Jakarta sudah ditempati nenek moyang bangsa Indonesia," tulis sejarawan Sugiman MD dalam buku 'Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi.' Berarti di zaman batu baru (neolithic) orang telah hidup dan tinggal di Condet, dengan mempergunakan benda-benda tadi sebagai alat untuk menebang pohon, memotong, dan untuk berbagai keperluan lainnya. Khusus di Pejaten, pada penggalian 1971 didapat pula lampu perunggu, lampu kuil, menandakan di sana telah dikenal orang akan adanya kepercayaan atau agama.

Untuk lebih memperkuat usulannya kepada Pemprov DKI, Ridwan mencontohkan batu ampar yang kini menjadi nama jalan dan kelurahan di Condet. Batu ampar yang di Tangerang disebut batu ceper adalah batu yang biasanya berukuran minimal 4 x 6 meter. Di atas batu ini sesajen diletakkan. Sangat mungkin batu ampar di Condet masih ada di suatu tempat di kebon penduduk. Bale Kambang, nama kelurahan di Condet, merupakan pasanggrahan raja-raja. Dapat dipastikan sisa bangunannya sudah musnah, tetapi lokasinya masih dapat diperkirakan. Sedangkan batu alam, juga nama jalan di Condet, dalam tradisi kekuasaan purba, adalah tempat melantik raja baru.

Di samping merupakan permukiman tertua di Jawa, Condet yang penduduknya sangat taat menjalankan syariat agama, pernah dikenal sangat heroik melawan penjajah. Pada 1916, rakyat Condet di bawah pimpinan Haji Tong Gendut mengangkat senjata melawan tuan tanah Belanda yang menguasai Cibeureum, Kranggan, dan Cimanggis, di Kabupaten Bogor. Tempat tinggal tuan tanah itu di depan Jl Raya Condet sekarang ini, yakni di Kampung Gedong. Rumah tuan tanah ini disebut kongsi, yang kini dipakai untuk Kesatrian Polisi Tanjung Timur. Tong Gendut mengumpulkan para pemuda berjihad fi sabilillah melawan tuan tanah yang selalu memeras penduduk. Tetapi pemberontakan ini dapat digagalkan.Pemberontakan kedua terjadi 1923, tidak menggunakan kekerasan senjata, melainkan dengan melakukan penebangan pohon-pohon besar. Pemberontakan ini berhasil membuat para mandor tuan tanah mundur, karena tidak berani menghadapi massa rakyat.Sejak saat itu, rakyat Condet makin berani melawan Belanda, termasuk menunggak pajak atau blasting. Ini berlangsung hingga 1934, tahunketika rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai pemerasan yang dilakukan tuan tanah. Rakyat meminta bantuan hukum kepada tokoh-tokoh perjuangan: Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin, dan lain-lain. Rakyat Condet akhirnya menang perkara. Tetapi keputusan baru datang setelah pemerintah Federal. Di masa federal ini, Belanda mengambil hati rakyat Condet, dengan menghapuskan tuan tanah.


Saling Silang Betawi

ondelondel.jpg

Siapakah orang Betawi? Dari mana asalnya?
Kalau Mandra gampang saja menjawabnya: “au ah gelap!” Mahbub Djunaidi si kolomnis ternama asli Betawi pernah mencoba menjawabnya; tapi, ia pun akhirnya menyerah. “Bukan apa-apa bagaimana bisa menjelaskan sedangkan topangan literaur saja tidak ada. Mana ada nenek moyang orang Betawi meninggalkan tulisan? Babad, hikayat—tiada itu. Ada memang kisah sultan Zainul Abidin atau Siti Zubaedah yang saban-saban dipaparkan sahibul hikayat saat pesta sunatan atau perkawinan. Tetapi, isinya penuh rupa-rupa petualangan dan tingkah jin dalam berbagai kaliber.” Begitu alasannya.

Sampai kini hanya Ridwan Saidi yang tak lelah-lelah menjawab pertanyaan itu. Sudah tiga buku ditulisnya untuk menjelaskan yaitu “Profil Orang Betawi” (1997), “Warisan Budaya Betawi” (2000) dan “Babad Tanah Betawi” (2002). Tak puas, di beratus forum diskusi Ridwan omong, ikut debat polemik dengan macam-macam peneliti dari dalam dan luar negeri tentang hal yang sama.

Menurut Ridwan orang Betawi bukanlah orang “kemarin sore”. Tidak benar jika ada yang mengatakan orang Betawi itu keturunan budak yang didatangkan Kompeni untuk mengisi intramuros alias kota benteng Batavia. Orang-orang Betawi telah ada jauh sebelum J.P. Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan mendirikan di atas reruntuknya kota Batavia.

Salakanagara Hingga Kalapa

Cikal bakal sejarah orang Betawi dikaitkan Ridwan dengan tokoh bernama Aki Tirem yang hidup di daerah kampung Warakas (Jakarta Utara) pada abad 2. Aki Tirem hidup dari membuat priuk dan saban-saban bajak laut menyatroni tempatnya untuk merampok priuk. Lantaran keteteran sendiri melawan bajak laut maka diputuskan untuk mencari perlindungan dari sebuah kerajaan. Saat itulah Dewawarman seorang berilmu dari India yang menjadi menantunya dimintanya mendirikan kerajaan dan raja.

Pada tahun 130 berdirilah kerajaan pertama di Jawa yang namanya Salakanagara. Salakanagara nagara menurut Ridwan berasal ari bahasa Kawi salaka yang artinya perak.

Secara etimologis kemudian Salakanagara itu dikaitkan Ridwan dengan laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun 160 dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou (Jawa) bernama Argyre yang artinya perak. Dikaitkan pula dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han yang pada tahun 132 mengabarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao Pien.

Ye Tiau ditafsirkan sebagai Jawa dan Tiau Pien sebagai Dewawarman. Termasuk dalam hal ini yang disebut Slametmulyana sebagai Kerajaan Holotan yang merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara dalam bukunya Dari Holotan sampai Jayakarta adalah Salakanagara.

Soal letak Salakanagara, Ridwan menunjuk kepada daerah Condet. Alasannya karena di Condet salak tumbuh subur dan banyak sekali nama-nama tempat yang bermakna sejarah, seperti Bale Kambang dan Batu Ampar. Bale Kambang adalah pasangrahan raja dan Batu Ampar adalah batu besar tempat sesaji diletakkan.

Di Condet juga terdapat makam kuno yang disebut penduduk Kramat Growak dan makam Ki Balung Tunggal yang ditafsirkan Ridwan adalah tokoh dari zaman kerajaan pelanjut Salakanagara yaitu Kerajaan Kalapa. Tokoh ini menurut Ridwan adalah pemimpin pasukan yang tetap melakukan peperangan walaupun tulangnya tinggal sepotong maka lantaran itu dijuluki Ki Balung Tunggal.

Setelah menunjuk bukti secara geografis, Ridwan pun melengkapi teorinya tentang cikal bakal sejarah orang Betawi dengan sejarah perkembangan bahasa dan budaya Melayu agar dapat semakin terlihat batas antara orang Betawi dengan orang Sunda. Ia pergi ke abad 10. Saat terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah timur mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.

Ridwan mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda). Orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

Studi Lance Castles

Agar timbangan tidak berat sebelah maka perlulah disini dikemukakan pula sosial-origin alias asal-usul sejarah orang Betawi yang ditulis Lance Castles, meskipun telaah peneliti Australia ini banyak bikin berang orang Betawi, tetapi sampai sekarang hanya itulah yang dianggap sebagai jawaban paling memuaskan (kalau tidak bisa disebut accepted history) oleh banyak pihak, terutama para akademisi.

Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.

Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari, pertama daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia. Kedua, Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815. Keriga, catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893 dan keempat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.

Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan.

Dari perbandingan dapatlah diketahui bahwa selama sekitar satu abad, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makasar, Sumbawa, dan sebagainya tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat, yang berarti migrasi cukup besar di dari Jawa, dan mungkin estimasi kelompok etnis Sunda di masa lalu di daerah sekitar Batavia terlalu rendah. Sebaliknya muncul kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” (Betawi) dalam jumlah besar yaitu 418.900 orang. Jadi secara umum dapatlah dikatakan bahwa kehadiran orang Betawi merupakan buah dari kebijakan kependudukan yang secara sengaja dan sistematis diterapkan oleh VOC.

Bukti Arkeologis

Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil penelitian Lance Castles, arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977). Uka memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di abad 5.

Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.

Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.

Seberapa Penting Keturunan

Akhirnya, sebelum menutup tulisan ini perlu pula dikemukakan pertanyaan, yang terlepas dari polemik soal asal muasal orang Betawi. Sesungguhnya seberapa pentingkah keturunan itu bagi orang Betawi? Mengutip penelitian Ninuk Kleden, maka tiga yang dianggap terpenting dalam fase kehidupan orang Betawi adalah khitanan, kawinan,, dan kematian. Berlatar kultur seperti itu, tentunya orang Betawi sedikit sekali punya konsentrasi untuk mengingat-ingat sesuatu yang berkaitan dengan kelahiran. Adat hidupnya yang banyak bertopang pada agama Islam lebih mengajarkan untuk lebih mengingat-ingat hari kematian. Wajar jika orang Betawi menganggap adat berulang tahun itu tak penting. Itu adat kafir karena datangnya dari Kumpeni yaitu sebutan mereka untuk VOC (Verenigde Oost-indiesche Compagnie).

Dalam konteks itulah adalah wajar jika Mandra spontan menjawab “au ah gelap” soal asal muasal orang Betawi. Kapan lahir dan keturunan siapa tak persoalan bagi orang Betawi. Apakah sejarah yang disertai polemik itu tepat atau ngelantur? Tak soal. Sekali lagi, seperti kata Mahbub Djunaidi, bagaimana mengkritisi sedangkan topangan literatur tiada. Orang Betawi bukanlah orang Jawa yang walau banyak bohong masih sempat meninggalkan sejarahnya dalam babad.

Motto hidup orang Betawi yang ingin senang terus, membuat mereka tak ambil pusing soal polemik asal muasal itu. Mereka terima saja ketika pemerintah Jakarta menetapkan baginya hari ulang tahun, 22 Juni. Tepat atau tidak, benar atau bohong hari ulang tahun itu bagi orang Betawi tidak jadi soal, karena sesama satu kesatuan entitas nasional jangankan benarnya, bohongnya pun mesti percaya. Hidup sekali dan sudah susah koq dibikin susah-susah dengan segala versi itu.

Boleh jadi sikap ini karena mereka awam sejarah, atau malah sebaliknya, sejarah itu diragukan kebenarannya. Orang Betawi memang polos dan jenaka. Bagi mereka kwalitas manusia itu tidak ditentukan oleh kapan lahir dan dari keturunan siapa, melainkan isi kepala dan prilakunya. Ya, memang keturunan itu bukan apa-apa dan tidak 100% dominan.

Taruhlah orang Betawi itu keturunan Baginda Raja Salakanagara yang hebat, Ki Balung Tunggal yang sakti atau cuma budak yang hina, tetapi yang penting siapakah orang Betawi itu sekarang. Antara kebesaran Baginda Raja Salakanagara, kesaktian Ki Balung Tunggal dan kehinaan budak Kumpeni dengan orang Betawi sekarang tidak ada hubungannya sama sekali. Tak perlu cerewet dengan kisah asal muasal keturunan. Lebih penting adalah orang Betawi sekarang mesti belajar dan bekerja keras untuk jadi berkwalitas macam raja-raja besar dan jangan jatuh hina ditindas bagai budak tak berharga. Kwalitas tak jatuh dari keturunan, dan tidak juga dari langit.

Tetapi tentang siapakah orang Betawi, dari mana asalnya, pendek kata sejarahnya orang Betawi mesti dicarikan jawaban. Memang kwalitas tak jatuh dari keturunan, tetapi pertanyaan sejarah itu bukan berarti mesti diremehkan dan tidak harus dicari jawabannya. Sebisanya mesti dijawab, sebab itu menyangkut sejauh mana sebetulnya kita bersungguh-sungguh dengan sejarah. Sejarah yang lebih adil, yang bisa menjadi sumber inspirasi dan pedoman yang menuntun masyarakat pendukungnya sekarang belajar serta mengetahui serta mengerti seraya bekerja keras untuk mencapai arah kemana mereka mesti menuju.

Dalam konteks itu saling silang tentang sejarah asal usul orang Betawi menjadi penting dan perlu disyukuri sebagai tanda bahwa arah mencari sejarah yang adil tengah berjalan, dan disana sejarah sebagai gambaran masa lalu yang adalah pula merupakan berita pikiran atau discourse, yang menuntut adanya proses dialogis telah terjadi dan tinggal kini orang Betawi mengambil hikmahnya dari setiap historiografi atau penulisan sejarah yang terlibat dalam polemik itu untuk menjawab keprihatinan dan kegelisahan sosial-kultural mereka yang harus bertanggungjawab memajukan kehidupan manusia Betawi sekaligus manusia Indonesia.[JJ Rizal]

Source: http://www.kampungbetawi.com/sohibul.php

Tuesday 1 December 2009

Bikin Ebook di Hp Java.....

donlot aja di

donlot

Betawi....

Istilah Betawi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya berasal dari kata "Batavia," yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh Belanda.

Sejarah

Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.

Suku Betawi

Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini.

Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

Setelah kemerdekaan

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

Bahasa

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[1] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Seni dan kebudayaan

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.

Kepercayaan

Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

Perilaku dan sifat

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain Jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. orang betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat betawi sangat menghargai pluralisme. hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat betawi dan pendatang dari luar Jakarta.

Orang betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). namun tetap ada optimisme dari masyarakat betawi generasi mendatang yang justreu akan menopang modernisasi tersebut.

Tokoh Betawi

Benyamin Sueb, seniman Betawi legendaris.

Catatan kaki

  1. ^ (2007) Three Old Sundanese Poems. KITLV Press.

Referensi

  1. Castles, Lance The Ethnic Profile of Jakarta, Indonesia vol.I, Ithaca: Cornell University April 1967
  2. Guinness, Patrick The attitudes and values of Betawi Fringe Dwellers in Djakarta, Berita Antropologi 8 (September), 1972, pp. 78–159
  3. Knoerr, Jacqueline Im Spannungsfeld von Traditionalität und Modernität: Die Orang Betawi und Betawi-ness in Jakarta, Zeitschrift für Ethnologie 128 (2), 2002, pp. 203–221
  4. Knoerr, Jacqueline Kreolität und postkoloniale Gesellschaft. Integration und Differenzierung in Jakarta, Frankfurt & New York: Campus Verlag, 2007
  5. Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya
  6. Shahab, Yasmine (ed.), Betawi dalam Perspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta: LKB, 1997
  7. Wijaya, Hussein (ed.), Seni Budaya Betawi. Pralokarya Penggalian Dan Pengem¬bangannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1976